Akad Nikah Via Telekomunikasi
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Masailul
Fiqh
Dosen Pembimbing
Ahmad Maisur, MHI
Disusun Oleh
Oleh
Imam Hanafi
Imam Hambali
A. Pengertian Pernikahan
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
Siti Zulaikah
Sisti Susanti
SEKOLAH T INGGI
ILMU TARBIYAH AL-MUSLIHUUN
TLOGO KANIGORO BLITAR
Tahun Ajaran
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan
hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat
sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu
yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki
dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah
akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita
dengan calon mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada
pedoman hukum Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga
bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta
membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh
karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang
pemudi untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah
sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan
yang ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir
inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh
Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya perkawinan menurut Islam adalah tergantung
pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu maka
berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan, para fuqoha’ telah berijtihad
menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya sesuatu akad nikah.
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi
mengenai permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad
nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telekomunikasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud
akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul
dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad
yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan
lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan).
Kata nikah ini sendiri secara hakiki bermakna akad dan secara majazi bermakna
persetubuhan menurut pendapat yang shoheh ;
ويطلق شرعا
على عقد مشتمل على الاركان والشروط
B. Rukun Pernikahan
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Wali
2. Pengantin laki-laki
3. Pengantin perempuan
4. Dua saksi laki-laki
5. Akad nikah
Akad nikah
merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad
nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج ولو بغير
العربية جيث فهما العقدان والشاهدان. ولا يصح عقد النكاح الا بولي غدل او ماذونه
والعدالة ليست بشرط في الولى. وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى ذكر وهو
اي الذكور – إختراز عن الأنثى فانما لا تزوج نفسها ولا غيرها.
Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari
lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi)
walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz
itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang
adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan
tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan
dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri
sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد
النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Dan tidak
sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.
C. Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum
Islam
Menentukan sah / tidaknya
suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon
dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi
syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan
untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada
/ tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau
peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah
pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup
sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir
tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon.
Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan
pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa
melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul
yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan
dibolehkan menurut Hukum Islam,
karena selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi
rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga
berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Karena
itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi
yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada
dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya,
dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan
sendiri).
2. Nikah merupakan peristiwa yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad,
tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta
tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam
al-Quran surat nisa’ ayat : 21
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat.
3. Nikah lewat telepon mengandung
risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’),
dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi
atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang
demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh
membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis
Nabi
دع ما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak
meragukan engkau.
درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح
Menghindari
mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah
D. Pendapat Para ulama’
Jumhur Ulama
sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama
Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan wajib
diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi
mensyaratkan sebagai berikut;
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
Dari
empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas bersama
yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua komponen
yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak tanpa
adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para pihak,
na,un tidka mendengar suara ijab qabulnya.
Dari
syarat tersebut, Syafi’iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui
pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak.
Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan
akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa
rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi
harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para
pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat
meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar
suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati
saksi.
Namun
ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini
bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya
indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti
contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed
dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar
suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika
demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar
diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari
pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang
hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya
indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat
dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan
hukumnya diperbolehkan dan sah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan
dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil
Syafi’iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual
bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab qabul harus konytiyu dan
tidak ada penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir
dalam majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau
qabul) melalui surat diperbolehkan.
Selain
ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat dari
pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat
dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah
apa bila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab
kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan keyakinan dalam dirinya.
Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi’iyyah berpendapat,
jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia
dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat
dibenarkan dan pernikahannya sah.
Kemudain
apa bila ditarik kepada pokok masalah hukum melakukan pernikahan via
telekomference, maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam
satu majlis sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email,
dan Telekonference belum dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut
Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab
keberadaan saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan
suatu peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan. Alat
elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai alat
bukti yang sah dan autentik. Sedangkan apa bila merujuk pada pendapat
Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi, juga tidak dapat ditarik
kesimpulan akad melalui media elektronik dapat dibenarkan, sebab Malikiyyah
meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka mensyaratkan adanya akad
pernikahan dilakukan dalam satu majlis secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan
sulit untuk hadir, maka ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat
dilakukan melalui sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi.
Hal ini berpedoman kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama Hanafiyyah dan
sebagian ulama Syafi’iyyah yang memperbolehkan ijab atau qabul memamakai surat.
Kedua, dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai dapat
dijadikan alat bukti yang autentik.
2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di
kajauhan dapat mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul,
tentunya perwakilan tersebut harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini
berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama sepakat bahwa akad pernikahan (ijab
qabul) dapat diwakilkan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-undang Indonesia, perwakilan dengan
disertai surat mandat resmi (bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai
kekuatan hukum.