Blogger templates

Pages

Rabu, November 07, 2012

Sejarah Peradaban Islam

 Corak Gerakan Pemikiran  Islam
 di Indonesia
 
LATAR BELAKANG
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya organisasi-organisasi masyarakat dan politik. Terbukti sebagian besar pemikiran Islam terlahir dari organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan dengan aktifitas-aktifitas keagamaan yang mengarah kepada islamisasi budaya dan politik secara massal. Asalkan Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan berpotensi dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban alternatif di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah - masalah kemanusiaan yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis bila umat Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman dan cerdas.
Perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke-19 lalu. Istilah gerakan yang disebut “pembaruan” ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang relatif berbeda dari pusat-pusat peradaban Islam  di  Timur  Tengah.  Salah  satu  ciri  utamanya  adalah  kuatnya pembauran antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi lokal. Pembauran itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.[1]
Dalam periodesasi gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, ketidakselarasan antara patokan agama yang suci dengan kebiasaan adat yang  menyimpang  dari  syariah  Islam,  desakan  kolonialisme,  dan dominannya kekuasaan negara menjadi faktor-faktor penentu secara struktural. Secara kultural, periodesasi sejarah kesadaran keagamaan
UmatIslam Indonesia sebagaimana disebutkan Kuntowijoyo (1999) terbagi menjadi tiga tingkat, mitos, ideologi dan ilmu.[2]
Perkembangan pemikiran Islam telah diwarnai oleh dua jenis kutub pemikiran yang cenderung saling berhadapan dalam memahami doktrin ajaran Islam. Kedua jenis pemikiran tersebut adalah pemikiran revivalis atau lebih dikenal dengan Islam fundamentalis di satu sisi dan Islam liberal pada sisi yang lain. Kedua jenis pemikiran tersebut telah sedemikian luas mewarnai diskursus Islam yang sering mengarah pada konflik dan ketegangan antar keduanya karena perbedaan prinsip dasar interpretasi. Perkembangan pemikiran Islam liberal di Indonesia ini difokuskan pada sekelompok kaum muda muslim yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL). Jaringan ini secara tegas mengklaim diri mereka sebagai pendukung Islam liberal. Dengan merujuk pada beberapa tokoh yang dikenal sebagai muslim liberal, kelompok ini mencoba menyebarkan ide ide progresif seperti membuka pintu ijtihad, kebebasan beragama dan berkepercayaan, semangat pluralisme, sekularisasi dan lainnya. JIL telah mengundang beragam respon dari kalangan umat Islam Indonesia baik dari yang bernada mendukung ataupun yang menolaknya.
Sebuah perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan sejarah seperti adanya mobilitas sosial (social mobility) saja,tapi juga adanya minoritas kreatif (creative minority) dan pribadi kreatif (creative personality) sebagai inisiatornya.Dalam makalah ini lebih ditunjukan kepada pribadi kreatif itu yakni kepada cendekiawan Muslim yang berusaha mempersempit kesenjangan antara “idial Islam” dengan Islam historis; atau antara Islam dalam teori dan Islam dalam praktek.[3]



[1] Lebih jelas lihat Cliffort Gertz dalam Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -
[2] Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat (itu) tidak merupakan evolusi yang lurus, artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih di tangan pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik. sKeempat, politik sama sekali tidak berperan. Lihat Kuntowidjojo, “Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
[3] Amien Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah ( Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. xiii.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -

A.    ARAH PEMIKIRAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA[1]
Pemikiran Islam senantiasa berkembang dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan budaya umat Islam. Terlebih dengan jumlah umat Islam di Indonesia sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada situasi dan kondisi di Indonesia.
Akibat intensitasnya persentuhan umat Islam dengan politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca-Dinasti Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi stagnan setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan yang semakin terpuruk itu, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad diberhentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab: Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembaharuan di negara-negara Islam lainnya. Gerakan pembaharuan di Indonesia yang bersifat organisatoris, mulai tampak pada pendirian Muhammadiyah pada 1912. Alasan ber­dirinya Muhammadiyah didasari oleh kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia yang banyak menyimpang dari tradisi Islam. Hal itu tampak dari kehidupan umat yang sangat percaya pada hal-hal yang bersifat takhayul,bid'ah, dan churafat ( TBC). Kondisi umat yang seperti ini, oleh pemerintah kolonial justru dimanfaatkan agar mereka menerima nasib dan tidak menuntut haknya untuk merdeka.
Gerakan ini menyerukan pentingnya kembali ke Alquran dan Sunah. Mereka tidak mendasarkan dirinya pada mazhab pemikiran tertentu, tetapi juga bukan sebuah mazhab baru. Artinya, sejak dari awal sebetulnya gerakan ini sangat inklusif dan progresif. Selain melakukan gerakan pembaruan pemikiran, Muhammadiyah juga melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan, kehidupan sosial, serta tata cara hidup modern. Mereka mengenalkan sistem pendidikan yang tersistem dengan baik sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Belanda. Jadi bukan sekadar sistem klasikal kuno. Dalam bidang sosial dan keorganisasian, mereka juga mendirikan panti asuhan, amal usaha, serta rumah sakit umum. Dalam beberapa hal, langkah yang dilakukan oleh Al-Irsyad pimpinan Ahmad Sorkati dan Persatuan Islam (Persis) pimpinan A. Hasan, juga menambah geliat dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Mereka mengkritik ijitihad ulama masa lalu yang cenderung bersifat homogen dan tidak terlalu mengurusi persoalan publik dan pendidikan umat Islam.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam oleh beberapa ormas yang pada awalnya sangat dinamis ini lambat laun berubah menjadi rutinitas dan terkena godaan politik. Terlebih lagi, pada era demokrasi liberal tahun 1950-an, beberapa ormas tampak jelas mendukung partai politik tertentu. Muhammadiyah dan NU pada masa pendirian Masyumi, aktif menjadi anggota kehormatan partai tersebut. Mereka pun, sibuk berlomba mencari kekuasaan dan mengincar kursi anggota Konstituante dan Menteri. Langkah NU yang menjadi partai dan ikut dalam ajang Pemilu 1955 serta Muhammadiyah aktif berkampanye untuk Masyumi, semakin menyeret ormas ini ke dalam tarikan politik praktis.
Akibatnya, kerja-kerja pembaharuan pemikiran keagamaan menjadi stagnan. Hal itu misalnya Muhammadiyah yang hanya bersibuk diri mengawetkan doktrin pemberantasan TBC-nya, serta terus giat mendirikan lembaga pendidikan dan amal usaha tanpa terlalu memikirkan kualitas dan pemihakannnya pada orang miskin. Dan rakyat pun diajak untuk membela partai Islam dengan fatwa bahwa orang Islam haruslah memilih partai Islam. Dengan begitu, energi kehidupan umat dikerahkan semua ke urusan politik harian tanpa sedikit pun diajak berpikir untuk memajukan pendidikan dan kualitas agama Islam ketika berhadapan dengan tantangan zaman.

A.    GERAKAN DARI  REVIVALISME KE NEOMODERNISME DI INDONESIA
Islam dan kaum Muslim di Indonesia merupakan salah satu kekuatan  sosial dan sejarah penting. Nilai-nilai Islam dan kaum Muslim tak saja mewujud dalam kenyataan structural pengejawantahan dirinya dalam realitas sosial dan sejarah tetapi juga secara cultural sebagaimana ia dipahami dan diyakini oleh pemeluknya. Dinamika  pemahaman  dan  penghayatan  keislaman  pasca  keruntuhan kekhalifahan universal (632-661) yang disebut juga khulafaur  rasyidin yang telah  memunculkan  serangkaian  tragedi  fitnah  dalam  masyarakat Muslim awal dan telah mengaburkan definisi dari Islam, tradisi Islam dan ortodoksi murni yang menyebar di berbagai wilayah luar Hijaz hingga ke Nusantara.[1] Akibatnya, definisi “Islam” beserta manifestasi  sosialnya pun menjadi bias dan pada akhirnya merembes merasuki  penelitian-penelitian sejarah keislaman yang datang lebih belakangan terhadap masyarakat Muslim Nusantara di awal-awal abad ke-19 dan 20.[2]
Tarik-menarik penulisan sejarah tentang Islam yang sangat kuat diwarnai oleh dikotomi orientalistik dan non-orientalistik. Orientaliseme menurut Edward Said, bukanlah sebuah konvensi akademis,[3] tetapi sebuah ideologi hegemonik yang berada di belakang usaha akademis. Baik yang pro, ataupun kontra dalam mengikuti term Said, keduanya tetap bias terhadap  kepentingan  ideologinya  masing-masing,  sehingga  makin menyulitkan sejauh mana yang mereka tulis bukan sebuah pemalsuan sejarah atau sejarah pembenaran diri.
Meskipun  demikian,  tak  bisa  dipungkiri  jika  Islam  di  awalnya mendapatkan  kubu-kubu  terkuatnya  di  kota-kota  pelabuhan,  seperti Samudra Pasai, Malaka, Demak dan sebagainya. Situasi ini menjadikan Islam sebagai bagian dari fenomena istana dari sebuah kerajaan yang kemudian muncul secara beriringan. Istana menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa. Selain itu, kedudukan kota pelabuhan sebagai pusatekonomi memungkinan terselenggaranya kegiatan-kegiatan dan sarana pendidikan yang memungkinkan terjadinya syiar Islam ke tempat-tempat lain. Syiar Islam ke tempat-tempat lain.[4]
Sebagai fenomena istana juga, muncul tokoh-tokoh ulama intelektual terkenal semacam Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (W. 1040/1630), Nuruddin Al Raniri (W.1068/1658), dan Abdurauf al-Singkili (1024-1105 H). Tokoh-tokoh ini mempunyai jaringan keilmuan yang luas, baik di dalam maupun luar negeri, sehingga menunjang pengembangan Islam dan gagasan-gagasan mereka sendiri.[5]
Namun yang paling menarik adalah gerakan pembaruan pemikiran Islam yang menjadi salah penyebaran dan konversi agama secara sosio-politik, tidak terjadi di perkotaan terutama untuk kasus revivalisme dan modernisme.[6]
 Barulah gerakan neo-modernisme dan neo-modernisme liberal yang lebih mencirikan sifat urbannya. Dan ini menunjukan gerakan pembaruan pemikiran sebagai sesuatu yang unik dan “menyempal” di tengah  umat,  yang  menunjukan  kekuatan  transhistoris  Islam yang memiliki daya tarik emosional dan spiritual sebagai gerakan sosial.
Secara umum gerakan pembaruan Islam menurut Fazlur Rahman[7] terdiri empat fase atau tahap,  Pertama, revivalisme pramodernisme [8],muncul abad ke-18 dan ke-19 di Arabia, India, dan Afrika.  Kedua, modernisme klasik, muncul pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh gagasan dan metodologi, serta pemikiran Barat[9].Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernisme, muncul awal abad ke-20. Keempat, neo-modernisme yang muncul pada akhir abad ke-20.[10]
Di Indonesia, gerakan pembaruan revivalisme merujuk pada gerakan Paderi di Sumatera Barat (1803-1837)[11]. Menurut Schrieke, di samping sebagai  gerakan  pemurnian  agama,  ia  juga  merupakan  gerakan menentang lembaga-lembaga sosial yang dilindungi oleh adat bersifat aristoristis dan feodlistik[12].Namun ketika Perang Paderi berakhir tahun 1837,  gerakan  revivalisme  yang  diperjuangkan  itu  gagal  secara substansial mengubah struktur sosial, kultural dan politik Minangkabau. Akan tetapi tak bisa juga dihilangkan bahwa ia berhasil menguatkan dan memperbesar pengaruh ulama atau agama dalam sistem kemasyarakatan Minangkabau  dengan,  salah  satu  contoh  utama,  perumusan  baru (aporisme) adat bahwa, adat bersendi syara’ (agama), syara’ bersendi kitabullah (Al Quran) dimana sebelumnya adat bersendi agama, agama bersendi adat.[13]
Seiring kekalahan kaum revivalis di tangan penjajahan Belanda,Islam menunjukan kembali kekuatan transhistorisnya dengan munculnya gerakan modernisme di awal abad ke-20. Surau Jembatan Besi dan Adabiah School di Sumatera Barat, dan Muhammadiyah di Yogyakarta merupakan bentuk dari gerakan modernisme Islam yang menekankan lembaga pendidikan Islam yang telah dimodernisasi sebagai basis gerakan.[14] Isu penting gerakan ini berupa, Pertama, membersihkan praktikdan pemikiran agama dari unsur asing (bid’ah). Kedua, memulihkanwibawa dan kebesaran kaum Muslim melalui peremajaan pemikiran dan praktik Islam (ibadah), serta menganjurkan untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan di Eropah. Ketiga, menolak taklid atau peniruan buta pada interpretasi teks kuno yang telah disusun para ulama terdahulu, dan menekankan ijtihad. Keempat, pembaruan di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga ilmu pengetahuan modern. Gerakan pembaharuan masa ini dipelopori diantaranya, H. Rasul (Abdul Karim Amrullah)[15], H. Abdullah Ahmad,[16] Zainudin Labai,[17]dan KH. Ahmad Dahlan.[18] Ada dua unsur utama yang mendukung keberhasilan gerakan ini di Indonesia; pertama, memadukan unsur modern dalam system pendidikan Islam, kedua, jaringan intelektual antara satu tokoh dengan lainnya lewat hubungan personal atau kelembagaan.
Pada hakekatnya, sulit memberi batas kapan gerakan ini berakhir. Namun seiring kemunculan gerakan neo-modernisme tahun 1970, bias dikatakan, modernisme Islam telah menjadi “usang” dan kehilangan relevansi sosialnya, apalagi sekolah-sekolah yang dulu didirikan kini “dikalahkan” oleh sekolah-sekolah negeri dan sekolah “swasta unggulan” yang tak kalah religiusnya. Dan batasan waktu dari neo-modernisme pun diambil dari “momen 3 Januari 1970” sebagai corong atau sinyal kemunculan gerakan pembaruan pemikiran Islam ini. Lebih jauh, gerakan pembaruan neo-modernisme ini merupakan anak kandung dari modernisme yang begitu kuat di abad ke-20 lalu. Situasi geopolitik yang terjadi pada itu, yakni peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru; peralihan antara kebebasan ekpresi politik yang relatif bebas ke pengetatan ideologis masyarakat dengan penguatan negara oleh tirani militer, meski atas nama demokrasi dan kebaikan masyarakat, baik diminta atau tidak (greedy sate) Ada tiga ciri utama dari gerakan neo-modernisme Islam ini di Indonesia. Pertama, hubungan agama dan negara atas landasan etis,dimana agama menjadi ragi nilai dalam kehidupan bernegara. Kedua,rumusan cita-cita Islam disandarkan kepada pengejawantahan nilai Islam sebagai kekuatan kultural. Ketiga, aspek etis Islam yang dipakai adalahperpaduan pemahaman antara pemikiran Islam klasik dan modern yang membentuk pamahaman baru dalam menerima pluralisme masyarakat lewat penciptaan masyarakat Islami melalui sarana pendidikan.
Greg Barton dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia (1999) menyebut, neo-modernisme Islam sebagai gerakan intelektual yang khas tak bisa dilepaskan dari; pertama, pembentukan metodologi yang universal dan permanen terhadap tafsir Al Qur’an yang bersifat rasional dan peka terhadap konteks historis dan budaya. Artinya bagaimana merumuskan doktrin Islam yang sesuai dengan kebutuhan actual masyarakat Muslim. Kedua, meski kelahirannya di Indonesia bukan sebagai oportunistik politik berusaha mensejajarkan diri dengan cita pembangunan Orde Baru, namun ia memiliki konsekuensi-konsekuensi politik.[19]
Dilihat dari sudut pandang khusus ini, dapat disimpulkan bahwa gagasan baldatun thayyibat-un wa rabbun ghafur dan al amr-u bil ma’ruf-Iw’alnahyu’an-I al-munkar dalam Islam politik di Indonesia dewasa ini tidaklagi diartikulasikan dalam konteks subjetifisme ideologi dan simbolis (yakni negara Islam dan ideologi Islam). Sebaliknya, gagasan-gagasan itu diterjemahkan dan diuraikan ke dalam beberapa agenda yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, meliputi isu- isu yang lebih luas seperti, demokratisme, toleransi agama dan politik, egaliterisme sosial-ekonomi dan emansipasi politik”.[20]
Maka dari itu seiring kebutuhan Orde Baru akan bentuk-bentuk pemikiran politik Islam yang non-partai, generasi muda Muslim yang ketika itu diwakili kelompok-kelompok progresif dari HMI dan lingkungan Limited Group pimpinan Mukti Ali berusaha menggagas satu kompromi intelektual lewat penghadapan Islam sebagai kekuatan kultural (baca: Islam Kultural).[21] Islam kultural ialah Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam minus politik.[22] Situasi inilah yang kemudian berkembang dalam umat Islam di Indonesia, sehingga menjadi polemik dan bersifat massif dalam kurun 35 tahun belakangan di Indonesia.
Sebagai seorang cendikiawan Muslim Indonesia ternama, pemikiran Nurcholish Madjid telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman  masyarakat urban  Indonesia. Untuk itu dapat diterangkan bahwa di tengah lingkungan inilah gerakan pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid lahir dan mendapatkan tempat di masyarakat Indonesia Namun, betapa pun gerakan pembaruan yang lahir itu adalah gerakan kultural, ia telah menjadi counter political discourse bagi pemikiran arus utama (mainstream) yang tertanam kuat di benak para politisi dan aktivis Islam tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan negara.[23] 


[1] Pada masa-masa awal masyarakat Muslim pasca wafatnya Nabi dan utama sekali pasca Umar, Islam sudah mengalamifitnah-fitnah; al fitnatul kubra. Ada tiga fitnah besar yang mempengaruhi jalan pikiran dan perkembangan pemahamanIslam; pembunuhan Usman; peperangan Ali dengan Muawiyah; pembersihan Bani Umayyah oleh kekhalifahan Abbasiyah.Lihat Nurcholish Madjid, “Menegakan Faham Ahlus-Sunnah Wa-Jamaah ‘Baru’ dalam Haidar Bagir (ed.), Satu Islam:Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14. Dari ketiga peristiwa tragis tersebut, munculah berbagai golongan yangmemiliki pandangan dan logika keislaman yang satu sama lain berbda, dan bahkan saling bertentangan, yakni Umawi,Kaum Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Sunni dan sebagainya. Tak jarang di antara satu dengan lain secara ekstrimmenganggap orang di luar kelompoknya sebagai kafir serta wajib untuk diperangi sebagaimana yang dipahami kelompokKhawarij. Selain itu varian-varian penghayatan dan ritual ibadah pun terjadi di antara mereka sehingga satu merasa lebihtaqwa dari yang lain dan akan mendapat surga sementara yang diluarnya mendapat neraka. Akibatnya, sampai hari ini punrumusan tentang siapa Muslim dan siapa kafir telah merangsang kaum Muslim memikirkan kembali apa itu Islam. Siapayang harus dianggap sebagai Muslim dan apa indikator dari sebutan itu? Sebagai dampak dari pertentangan esensial itu,penyebaran Islam yang terjadi kemudian di luar tanah Hijaz tak pelak sangat kuat dipengaruhi oleh pertentangan tersebut,termasuk ketika Islam datang ke Nusantara.
[2] Hal ini terutama kajian-kajian yang dilakukan oleh sejarawan kolonial dan para peneliti orientalis yang masih dihantui oleh sejarah Perang Salib dan penghancuran Granada di abad ke-15.
[3] Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: Rosda Karya, 2000), hlm. vii.
[4] Ibid., hlm. 33.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -
[5] Untuk lebih mendalami kiprah dan jaringan keilmuan mereka lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994).
[6] Dua bentuk gerakan ini justru muncul di daearh rural, seperti Padangpanjang dan daerah Kamang dekat Bukittinggi yang merupakan wilayah Sumatera Barat kini. Salah satu karya penting yang mengulas tentang gerakan revivalisme ini lihat H.A. Steijn Parve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatera”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: UGM Press, 1996), hlm. 147-176.
[7]Fazlur Rahman (1919-1988) adalah filosof asal Pakistan. Selain itu Rahman dikenal sebagai pendidik dan pembaru Islam terkemuka. Master dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Punjab, Lahore, pada tahun 1942. Sementara gelar doktor dalam bidang filsafat Islam dari Universitas Oxford pada 1949. Terakhir Rahman tercatat sebagai profesor di Universitas Chicago sampai wafatnya tahun 1988. John L. Esposito Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jilid V, hlm. 78.
[8] Revivalisme adalah paham yang dianut oleh kelompok Islam yang menekankan pada ajaran “kembali ke Islam” secara literal atau teks. Artinya kelompok ini lebih menekankan pemahaman ajaran Islam itu sebagaimana yang tertulis.
[9] Modernisme klasik adalah suatu paham yang menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan berkelanjutan, sehingga kaum Muslim dapat mengembangkan institusi pendidikan, hukum dan politik yang sesuai dengan kondisi kekinian. Asumsi dasar modernisme ini adalah “Dunia Islam” telah mengalami kemunduran bila dibanding Barat. John L Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jilid IV, hlm. 75.
[10] Revivalisme pascamodernisme merupakan paham pembaruan pemikiran Islam yang mencoba mensejajarkan ajaran Islam dengan pemikiran Barat. Islam dianggap bersifat total dalam mengatur cara hidup pribadi maupun masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan ideologi. Lihat Awad Bahasoan, "Gerakan Pembaharuan Islam", Prisma Ekstra, 1984, hlm. 110-111.
[11] Lihat Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 3-4 Sementara Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar:  Pertama  Periode Klasik (650-1250) yang merupakan zaman kemajuan, tapi dipenghujungnya terjadi disintegrasi umat Islam. Kedua, Periode Pertengahan (1250-1800) sebagai periode kemunduran dan stagnasi. Ketiga, Periode Modern (1800-seterusnya) sebagai masa kebangkitan kembali umat Islam. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan (Jakarta:Bulan Bintang,1992), hlm. 12-14.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -
[12] BJO Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, diterjemahkan oleh Soegarda Perbakawatje (Jakarta: Bharatara, 1973), hlm. 13-14.

[14]  Ada dua karya penting yang bisa dirujuk guna menjelajahi gerakan modernisme ini di Sumatera Barat; Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971) dan Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996).
[15] Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal juga dengan nama H. Rasul dilahirkan di Maninjau tahun 1879. Setelah beberapa tahun belajar di Mekkah ia mulai mengajar, tapi tidak terikat pada satu wilayah saja. Ia mengajar di daerah seperti Padangpanjang, Matur dan Padang. Suraunya di Padangpanjang tumbuh menjadi perguruan Sumatera Thawalib yang terkenal itu. Ibid., hlm. 44-46.
[16] H. Abullah Ahmad lahir di Padangpanjang tahun 1878. Ia pergi ke Makkah tahun 1895 dan kembali tahun 1899. Kira-kira tahun 1906 ia pergi ke Padang menjadi guru, kemudian ia mendirikan Jamaah Adabiah yang menjadi cikal bakal sekolah Adabiah Padang. Selain itu ia adalah pendiri Majalah Al Munir yang terbit dua minggu sekali dari tahun 1911-1916. Ibid., hlm. 46-47.
[17] Zainudin Labai al Junusi lahir di Bukit surungan Padangpanjang tahun 1890. Ia banyak menulis artikel dalam majalah Al Munir pimpinan H. Abdullah Ahmad di Padang. Ketika Al Munir berhenti terbit, ia meneruskannya dengan nama yang sama di Padangpanjang. Tahun 1815 ia mendirikan sekolah guru Diniyah. Ia wafat tahun 1924. Ibid., hlm. 48-49.
[18] KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta tahun 1864 dengan nama Mohamad Darwis. Ia pergi ke Makkah tahun 1890 dan belajar di sana selama satu tahun. 1903 ia kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun lamanya. Tahun 1912 dengan tujuan “menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhamad saw kepada penduduk Bumiputra dan memajukan hal agama Islam pada anggotanya”, ia mendirikan Perkumpulan Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan. Ibid., hlm. 84-86.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -

[19] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jaakrta: Paramadina-Pustaka Antara, 1999), hlm. 15.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf -

[20] Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 212-214.
[21] Lebih jauh baca Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), Pergolakan Pemikiarn Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 1981).
[22] Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi. Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim (ed.), Islam Di Tengah Transisi (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. xxiii.
[23] Ahmad Gaus AF, "How Liberal Can You Go?", Kompas, 13 Desember 2002.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Aku adalah seorang pendiam tapi tidak berarti diam merasa putus asa..Aku akan berusaha menjadi orang yang bijak dalam mengambil keputusan karena keputusan yang salah akan mengakibatkan hal yang fatal dan mengakibatkan kerugian.. keputusanmu sekarang adalah modal dimasa mendatang...kalah tidak berarti harus berhenti karena selagi aku bernyawa tuhan akan selalu memberi kemudahan selama usaha itu tidak berhenti.

About