Corak Gerakan Pemikiran Islam
di Indonesia
LATAR BELAKANG
Perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya organisasi-organisasi
masyarakat dan politik. Terbukti sebagian besar pemikiran Islam terlahir dari
organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan dengan aktifitas-aktifitas
keagamaan yang mengarah kepada islamisasi budaya dan politik secara massal.
Asalkan Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan
berpotensi dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban
alternatif di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah - masalah
kemanusiaan yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis
bila umat Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman dan cerdas.
Perkembangan
kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari munculnya
gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke-19 lalu. Istilah gerakan yang disebut
“pembaruan” ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang relatif berbeda dari
pusat-pusat peradaban Islam di Timur
Tengah. Salah satu
ciri utamanya adalah
kuatnya pembauran antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi lokal.
Pembauran itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan
kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration
pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.[1]
Dalam
periodesasi gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, ketidakselarasan
antara patokan agama yang suci dengan kebiasaan adat yang menyimpang
dari syariah Islam,
desakan kolonialisme, dan dominannya kekuasaan negara menjadi
faktor-faktor penentu secara struktural. Secara kultural, periodesasi sejarah
kesadaran keagamaan
UmatIslam
Indonesia sebagaimana disebutkan Kuntowijoyo (1999) terbagi menjadi tiga
tingkat, mitos, ideologi dan ilmu.[2]
Perkembangan
pemikiran Islam telah diwarnai oleh dua jenis kutub pemikiran yang cenderung
saling berhadapan dalam memahami doktrin ajaran Islam. Kedua jenis pemikiran
tersebut adalah pemikiran revivalis atau lebih dikenal dengan Islam
fundamentalis di satu sisi dan Islam liberal pada sisi yang lain. Kedua jenis
pemikiran tersebut telah sedemikian luas mewarnai diskursus Islam yang sering
mengarah pada konflik dan ketegangan antar keduanya karena perbedaan prinsip
dasar interpretasi. Perkembangan pemikiran Islam liberal di Indonesia ini
difokuskan pada sekelompok kaum muda muslim yang menamakan dirinya Jaringan
Islam Liberal (JIL). Jaringan ini secara tegas mengklaim diri mereka sebagai
pendukung Islam liberal. Dengan merujuk pada beberapa tokoh yang dikenal
sebagai muslim liberal, kelompok ini mencoba menyebarkan ide ide progresif
seperti membuka pintu ijtihad, kebebasan beragama dan berkepercayaan, semangat
pluralisme, sekularisasi dan lainnya. JIL telah mengundang beragam respon dari
kalangan umat Islam Indonesia baik dari yang bernada mendukung ataupun yang
menolaknya.
Sebuah
perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan sejarah seperti adanya
mobilitas sosial (social mobility) saja,tapi juga adanya minoritas kreatif
(creative minority) dan pribadi kreatif (creative personality) sebagai
inisiatornya.Dalam makalah ini lebih ditunjukan kepada pribadi kreatif itu
yakni kepada cendekiawan Muslim yang berusaha mempersempit kesenjangan antara
“idial Islam” dengan Islam historis; atau antara Islam dalam teori dan Islam
dalam praktek.[3]
[1] Lebih jelas lihat Cliffort Gertz
dalam Penjaja
dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
[2] Pertama,
perkembangan kesadaran keagamaan umat (itu) tidak merupakan evolusi yang lurus,
artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi tumpang-tindih
(overlapping). Kedua,
tahapan terakhir masih di tangan
pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi
minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh
mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik. sKeempat, politik sama
sekali tidak berperan. Lihat Kuntowidjojo, “Periodesasi Sejarah Kesadaran
Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi
dan Ilmu”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
[3] Amien Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John
L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (
Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. xiii.
http:// www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
A. ARAH
PEMIKIRAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA[1]
Pemikiran Islam
senantiasa berkembang dapat
dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara pandang keagamaan yang sangat
memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan budaya umat Islam. Terlebih dengan jumlah umat
Islam di Indonesia sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen
dari total penduduk. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat
berpengaruh pada situasi dan kondisi di Indonesia.
Akibat intensitasnya persentuhan
umat Islam dengan politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan
pasca-Dinasti Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi
stagnan setelah daerah
kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib
ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan yang semakin terpuruk itu,
saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad diberhentikan. Alasannya, jika
perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan berlanjut, umat Islam semakin terpuruk
karena terjadi perang saudara. Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi
hanya pada 4 (empat) mazhab: Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan
kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah dan tasawuf serta
filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.
Pembaharuan pemikiran
Islam di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembaharuan di
negara-negara Islam lainnya. Gerakan pembaharuan di Indonesia yang bersifat
organisatoris, mulai tampak pada pendirian Muhammadiyah pada 1912. Alasan berdirinya
Muhammadiyah didasari oleh kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap kehidupan
keagamaan umat Islam Indonesia yang banyak menyimpang dari tradisi Islam. Hal
itu tampak dari kehidupan umat yang sangat percaya pada hal-hal yang bersifat
takhayul,bid'ah, dan churafat ( TBC). Kondisi umat
yang seperti ini, oleh pemerintah kolonial justru dimanfaatkan agar mereka
menerima nasib dan tidak menuntut haknya untuk merdeka.
Gerakan ini
menyerukan pentingnya kembali ke Alquran dan Sunah. Mereka tidak mendasarkan
dirinya pada mazhab pemikiran tertentu, tetapi juga bukan sebuah mazhab baru.
Artinya, sejak dari awal sebetulnya gerakan ini sangat inklusif dan progresif.
Selain melakukan gerakan pembaruan pemikiran, Muhammadiyah juga melakukan
pembaruan terhadap sistem pendidikan, kehidupan sosial, serta tata cara hidup
modern. Mereka mengenalkan sistem pendidikan yang tersistem dengan baik
sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Belanda. Jadi bukan sekadar sistem
klasikal kuno. Dalam bidang sosial dan keorganisasian, mereka juga mendirikan
panti asuhan, amal usaha, serta rumah sakit umum. Dalam beberapa hal, langkah
yang dilakukan oleh Al-Irsyad pimpinan Ahmad Sorkati dan Persatuan Islam
(Persis) pimpinan A. Hasan, juga menambah geliat dinamika pemikiran Islam di
Indonesia. Mereka mengkritik ijitihad ulama masa lalu yang cenderung bersifat
homogen dan tidak terlalu mengurusi persoalan publik dan pendidikan umat Islam.
Gerakan
pembaharuan pemikiran Islam oleh beberapa ormas yang pada awalnya sangat
dinamis ini lambat laun berubah menjadi rutinitas dan terkena godaan politik.
Terlebih lagi, pada era demokrasi liberal tahun 1950-an, beberapa ormas tampak
jelas mendukung partai politik tertentu. Muhammadiyah dan NU pada masa
pendirian Masyumi, aktif menjadi anggota kehormatan partai tersebut. Mereka
pun, sibuk berlomba mencari kekuasaan dan mengincar kursi anggota Konstituante
dan Menteri. Langkah NU yang menjadi partai dan ikut dalam ajang Pemilu 1955
serta Muhammadiyah aktif berkampanye untuk Masyumi, semakin menyeret ormas ini
ke dalam tarikan politik praktis.
Akibatnya,
kerja-kerja pembaharuan pemikiran keagamaan menjadi stagnan. Hal itu misalnya
Muhammadiyah yang hanya bersibuk diri mengawetkan doktrin pemberantasan
TBC-nya, serta terus giat mendirikan lembaga pendidikan dan amal usaha tanpa
terlalu memikirkan kualitas dan pemihakannnya pada orang miskin. Dan rakyat pun
diajak untuk membela partai Islam dengan fatwa bahwa orang Islam haruslah
memilih partai Islam. Dengan begitu, energi kehidupan umat dikerahkan semua ke
urusan politik harian tanpa sedikit pun diajak berpikir untuk memajukan
pendidikan dan kualitas agama Islam ketika berhadapan dengan tantangan zaman.
A. GERAKAN DARI REVIVALISME KE NEOMODERNISME DI INDONESIA
Islam dan kaum
Muslim di Indonesia merupakan salah satu kekuatan sosial dan sejarah penting. Nilai-nilai Islam
dan kaum Muslim tak saja mewujud dalam kenyataan structural pengejawantahan
dirinya dalam realitas sosial dan sejarah tetapi juga secara cultural sebagaimana
ia dipahami dan diyakini oleh pemeluknya. Dinamika pemahaman
dan penghayatan keislaman
pasca keruntuhan kekhalifahan
universal (632-661) yang disebut juga khulafaur rasyidin yang telah memunculkan
serangkaian tragedi fitnah
dalam masyarakat Muslim awal dan
telah mengaburkan definisi dari Islam, tradisi Islam dan ortodoksi murni yang
menyebar di berbagai wilayah luar Hijaz hingga ke Nusantara.[1]
Akibatnya, definisi “Islam” beserta manifestasi
sosialnya pun menjadi bias dan pada akhirnya merembes merasuki penelitian-penelitian sejarah keislaman yang
datang lebih belakangan terhadap masyarakat Muslim Nusantara di awal-awal abad
ke-19 dan 20.[2]
Tarik-menarik
penulisan sejarah tentang Islam yang sangat kuat diwarnai oleh dikotomi
orientalistik dan non-orientalistik. Orientaliseme menurut Edward Said,
bukanlah sebuah konvensi akademis,[3]
tetapi sebuah ideologi hegemonik yang berada di belakang usaha akademis. Baik
yang pro, ataupun kontra dalam mengikuti term Said, keduanya tetap bias
terhadap kepentingan ideologinya
masing-masing, sehingga makin menyulitkan sejauh mana yang mereka
tulis bukan sebuah pemalsuan sejarah atau sejarah pembenaran diri.
Meskipun demikian,
tak bisa dipungkiri
jika Islam di
awalnya mendapatkan
kubu-kubu terkuatnya di
kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malaka, Demak dan
sebagainya. Situasi ini menjadikan Islam sebagai bagian dari fenomena istana
dari sebuah kerajaan yang kemudian muncul secara beriringan. Istana menjadi
pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa. Selain
itu, kedudukan kota pelabuhan sebagai pusatekonomi memungkinan terselenggaranya
kegiatan-kegiatan dan sarana pendidikan yang memungkinkan terjadinya syiar
Islam ke tempat-tempat lain. Syiar Islam ke tempat-tempat lain.[4]
Sebagai fenomena
istana juga, muncul tokoh-tokoh ulama intelektual terkenal semacam Hamzah
Fansuri, Syamsudin Pasai (W. 1040/1630), Nuruddin Al Raniri (W.1068/1658), dan
Abdurauf al-Singkili (1024-1105 H). Tokoh-tokoh ini mempunyai jaringan keilmuan
yang luas, baik di dalam maupun luar negeri, sehingga menunjang pengembangan
Islam dan gagasan-gagasan mereka sendiri.[5]
Namun yang
paling menarik adalah gerakan pembaruan pemikiran Islam yang menjadi salah
penyebaran dan konversi agama secara sosio-politik, tidak terjadi di perkotaan
terutama untuk kasus revivalisme dan modernisme.[6]
Barulah gerakan neo-modernisme dan
neo-modernisme liberal yang lebih mencirikan sifat urbannya. Dan ini menunjukan
gerakan pembaruan pemikiran sebagai sesuatu yang unik dan “menyempal” di
tengah umat, yang
menunjukan kekuatan transhistoris
Islam yang memiliki daya tarik emosional dan spiritual sebagai gerakan
sosial.
Secara umum
gerakan pembaruan Islam menurut Fazlur Rahman[7] terdiri
empat fase atau tahap, Pertama,
revivalisme pramodernisme [8],muncul
abad ke-18 dan ke-19 di Arabia, India, dan Afrika. Kedua, modernisme klasik, muncul
pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh gagasan dan
metodologi, serta pemikiran Barat[9].Ketiga,
neorevivalisme atau revivalisme pascamodernisme, muncul awal abad ke-20. Keempat,
neo-modernisme yang muncul pada akhir abad ke-20.[10]
Di Indonesia,
gerakan pembaruan revivalisme merujuk pada gerakan Paderi di Sumatera Barat
(1803-1837)[11].
Menurut Schrieke, di samping sebagai gerakan pemurnian
agama, ia juga
merupakan gerakan menentang
lembaga-lembaga sosial yang dilindungi oleh adat bersifat aristoristis dan
feodlistik[12].Namun
ketika Perang Paderi berakhir tahun 1837,
gerakan revivalisme yang
diperjuangkan itu gagal
secara substansial mengubah struktur sosial, kultural dan politik
Minangkabau. Akan tetapi tak bisa juga dihilangkan bahwa ia berhasil menguatkan
dan memperbesar pengaruh ulama atau agama dalam sistem kemasyarakatan
Minangkabau dengan, salah
satu contoh utama,
perumusan baru (aporisme) adat
bahwa, adat bersendi syara’ (agama), syara’ bersendi kitabullah (Al Quran)
dimana sebelumnya adat bersendi agama, agama bersendi adat.[13]
Seiring kekalahan kaum
revivalis di tangan penjajahan Belanda,Islam menunjukan kembali kekuatan
transhistorisnya dengan munculnya gerakan modernisme di awal abad ke-20. Surau
Jembatan Besi dan Adabiah School di Sumatera Barat, dan Muhammadiyah di
Yogyakarta merupakan bentuk dari gerakan modernisme Islam yang menekankan
lembaga pendidikan Islam yang telah dimodernisasi sebagai basis gerakan.[14] Isu
penting gerakan ini berupa, Pertama, membersihkan praktikdan pemikiran
agama dari unsur asing (bid’ah). Kedua, memulihkanwibawa dan
kebesaran kaum Muslim melalui peremajaan pemikiran dan
praktik
Islam (ibadah), serta menganjurkan untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan di
Eropah. Ketiga, menolak taklid atau peniruan buta pada interpretasi teks
kuno yang telah disusun para ulama terdahulu, dan menekankan ijtihad. Keempat,
pembaruan di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Islam yang
tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga ilmu pengetahuan modern. Gerakan
pembaharuan masa ini dipelopori diantaranya, H. Rasul (Abdul Karim Amrullah)[15], H.
Abdullah Ahmad,[16] Zainudin
Labai,[17]dan
KH. Ahmad Dahlan.[18] Ada dua
unsur utama yang mendukung keberhasilan gerakan ini
di
Indonesia; pertama, memadukan unsur modern dalam system pendidikan
Islam, kedua, jaringan intelektual antara satu tokoh dengan lainnya
lewat hubungan personal atau kelembagaan.
Pada hakekatnya, sulit memberi batas kapan gerakan
ini berakhir. Namun seiring kemunculan gerakan neo-modernisme tahun 1970, bias
dikatakan, modernisme Islam telah menjadi “usang” dan kehilangan relevansi
sosialnya, apalagi sekolah-sekolah yang dulu didirikan kini “dikalahkan” oleh
sekolah-sekolah negeri dan sekolah “swasta unggulan” yang tak kalah
religiusnya. Dan batasan waktu dari neo-modernisme pun diambil dari “momen 3
Januari 1970” sebagai corong atau sinyal kemunculan gerakan pembaruan pemikiran
Islam ini. Lebih jauh, gerakan pembaruan neo-modernisme ini merupakan anak
kandung dari modernisme yang begitu kuat di abad ke-20 lalu. Situasi geopolitik
yang terjadi pada itu, yakni peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru;
peralihan antara kebebasan ekpresi politik yang relatif bebas ke pengetatan
ideologis masyarakat dengan penguatan negara oleh tirani militer, meski atas
nama demokrasi dan kebaikan masyarakat, baik diminta atau tidak (greedy sate)
Ada tiga ciri utama dari gerakan neo-modernisme Islam ini di Indonesia. Pertama,
hubungan agama dan negara atas landasan etis,dimana agama menjadi ragi nilai
dalam kehidupan bernegara. Kedua,rumusan cita-cita Islam disandarkan
kepada pengejawantahan nilai Islam sebagai kekuatan kultural. Ketiga,
aspek etis Islam yang dipakai adalahperpaduan pemahaman antara pemikiran Islam
klasik dan modern yang membentuk pamahaman baru dalam menerima pluralisme
masyarakat lewat penciptaan masyarakat Islami melalui sarana pendidikan.
Greg Barton dalam Gagasan
Islam Liberal di Indonesia (1999) menyebut, neo-modernisme Islam sebagai
gerakan intelektual yang khas tak bisa dilepaskan dari; pertama, pembentukan
metodologi yang universal dan permanen terhadap tafsir Al Qur’an yang bersifat
rasional dan peka
terhadap konteks historis dan budaya. Artinya bagaimana merumuskan doktrin
Islam yang sesuai dengan kebutuhan actual masyarakat Muslim. Kedua, meski
kelahirannya di Indonesia bukan sebagai oportunistik politik berusaha
mensejajarkan diri dengan cita
pembangunan
Orde Baru, namun ia memiliki konsekuensi-konsekuensi politik.[19]
Dilihat
dari sudut pandang khusus ini, dapat disimpulkan bahwa gagasan baldatun
thayyibat-un wa rabbun ghafur dan al amr-u bil ma’ruf-Iw’alnahyu’an-I al-munkar dalam Islam politik di Indonesia dewasa ini
tidaklagi diartikulasikan dalam konteks subjetifisme ideologi dan simbolis
(yakni negara Islam dan ideologi Islam). Sebaliknya, gagasan-gagasan itu diterjemahkan
dan diuraikan ke dalam beberapa agenda yang berhubungan dengan kepentingan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, meliputi isu- isu yang lebih luas
seperti, demokratisme, toleransi agama dan politik, egaliterisme sosial-ekonomi
dan emansipasi politik”.[20]
Maka dari itu seiring
kebutuhan Orde Baru akan bentuk-bentuk pemikiran politik Islam yang non-partai,
generasi muda Muslim yang ketika itu diwakili kelompok-kelompok progresif dari
HMI dan lingkungan Limited Group pimpinan Mukti Ali berusaha
menggagas satu kompromi intelektual lewat penghadapan Islam sebagai kekuatan
kultural (baca: Islam Kultural).[21] Islam kultural
ialah Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga
kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam minus politik.[22] Situasi inilah
yang kemudian berkembang dalam umat Islam di Indonesia, sehingga menjadi
polemik dan bersifat massif dalam kurun 35 tahun belakangan di Indonesia.
Sebagai seorang
cendikiawan Muslim Indonesia ternama, pemikiran Nurcholish Madjid telah
mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman
masyarakat urban Indonesia. Untuk
itu dapat diterangkan bahwa di tengah lingkungan inilah gerakan pembaruan
pemikiran Nurcholish Madjid lahir dan mendapatkan tempat di masyarakat
Indonesia Namun, betapa pun gerakan pembaruan yang lahir itu adalah gerakan
kultural, ia telah menjadi counter political discourse bagi pemikiran
arus utama (mainstream) yang tertanam kuat di benak para politisi dan
aktivis Islam tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan negara.[23]
[1] Pada masa-masa awal masyarakat Muslim pasca wafatnya Nabi dan
utama sekali pasca Umar, Islam sudah mengalamifitnah-fitnah; al fitnatul
kubra. Ada tiga fitnah besar yang mempengaruhi jalan pikiran dan
perkembangan pemahamanIslam; pembunuhan Usman; peperangan Ali dengan Muawiyah;
pembersihan Bani Umayyah oleh kekhalifahan Abbasiyah.Lihat Nurcholish Madjid,
“Menegakan Faham Ahlus-Sunnah Wa-Jamaah ‘Baru’ dalam Haidar Bagir (ed.), Satu
Islam:Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 14. Dari ketiga peristiwa
tragis tersebut, munculah berbagai golongan yangmemiliki pandangan dan logika
keislaman yang satu sama lain berbda, dan bahkan saling bertentangan, yakni
Umawi,Kaum Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Sunni dan sebagainya. Tak jarang di
antara satu dengan lain secara ekstrimmenganggap orang di luar kelompoknya
sebagai kafir serta wajib untuk diperangi sebagaimana yang dipahami
kelompokKhawarij. Selain itu varian-varian penghayatan dan ritual ibadah pun
terjadi di antara mereka sehingga satu merasa lebihtaqwa dari yang lain dan
akan mendapat surga sementara yang diluarnya mendapat neraka. Akibatnya, sampai
hari ini punrumusan tentang siapa Muslim dan siapa kafir telah merangsang kaum
Muslim memikirkan kembali apa itu Islam. Siapayang harus dianggap sebagai
Muslim dan apa indikator dari sebutan itu? Sebagai dampak dari pertentangan
esensial itu,penyebaran Islam yang terjadi kemudian di luar tanah Hijaz tak
pelak sangat kuat dipengaruhi oleh pertentangan tersebut,termasuk ketika Islam
datang ke Nusantara.
[2] Hal ini terutama kajian-kajian yang dilakukan oleh sejarawan
kolonial dan para peneliti orientalis yang masih dihantui oleh sejarah Perang
Salib dan penghancuran Granada di abad ke-15.
[3] Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara (Bandung: Rosda Karya, 2000), hlm. vii.
http://
www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
[5] Untuk lebih mendalami kiprah dan jaringan keilmuan mereka lihat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994).
[6] Dua bentuk gerakan ini justru muncul di daearh rural, seperti
Padangpanjang dan daerah Kamang dekat Bukittinggi yang merupakan wilayah
Sumatera Barat kini. Salah satu karya penting yang mengulas tentang gerakan
revivalisme ini lihat H.A. Steijn Parve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat
Pulau Sumatera”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia
(Yogyakarta: UGM Press, 1996), hlm. 147-176.
[7]Fazlur
Rahman (1919-1988) adalah filosof asal Pakistan. Selain itu Rahman dikenal
sebagai pendidik dan pembaru Islam terkemuka. Master dalam bidang bahasa Arab
dari Universitas Punjab, Lahore, pada tahun 1942. Sementara gelar doktor dalam
bidang filsafat Islam dari Universitas Oxford pada 1949. Terakhir Rahman
tercatat sebagai profesor di Universitas Chicago sampai wafatnya tahun 1988.
John L. Esposito Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001),
jilid V, hlm. 78.
[8] Revivalisme adalah paham yang dianut oleh kelompok Islam yang
menekankan pada ajaran “kembali ke Islam” secara literal atau teks. Artinya
kelompok ini lebih menekankan pemahaman ajaran Islam itu sebagaimana yang
tertulis.
[9] Modernisme klasik adalah suatu paham yang menganjurkan penafsiran
ulang atas Islam secara fleksibel dan berkelanjutan, sehingga kaum Muslim dapat
mengembangkan institusi pendidikan, hukum dan politik yang sesuai dengan
kondisi kekinian. Asumsi dasar modernisme ini adalah “Dunia Islam” telah
mengalami kemunduran bila dibanding Barat. John L Esposito, Ensiklopedi
Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jilid IV, hlm. 75.
[10] Revivalisme pascamodernisme merupakan paham pembaruan pemikiran
Islam yang mencoba mensejajarkan ajaran Islam dengan pemikiran Barat. Islam
dianggap bersifat total dalam mengatur cara hidup pribadi maupun masyarakat
dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan ideologi. Lihat Awad Bahasoan,
"Gerakan Pembaharuan Islam", Prisma Ekstra, 1984, hlm.
110-111.
[11] Lihat Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif
Neo-Modernisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 3-4 Sementara Harun
Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar: Pertama
Periode Klasik (650-1250) yang merupakan zaman kemajuan, tapi
dipenghujungnya terjadi disintegrasi umat Islam. Kedua, Periode Pertengahan
(1250-1800) sebagai periode kemunduran dan stagnasi. Ketiga, Periode Modern
(1800-seterusnya) sebagai masa kebangkitan kembali umat Islam. Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan (Jakarta:Bulan Bintang,1992),
hlm. 12-14.
http://
www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
[12] BJO
Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, diterjemahkan oleh
Soegarda Perbakawatje (Jakarta: Bharatara, 1973), hlm. 13-14.
[14] Ada dua karya penting yang
bisa dirujuk guna menjelajahi gerakan modernisme ini di Sumatera Barat; Taufik
Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra
(1927-1933), (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971) dan Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996).
[15] Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal juga dengan nama H. Rasul
dilahirkan di Maninjau tahun 1879. Setelah beberapa tahun belajar di Mekkah ia
mulai mengajar, tapi tidak terikat pada satu wilayah saja. Ia mengajar di
daerah seperti Padangpanjang, Matur dan Padang. Suraunya di Padangpanjang
tumbuh menjadi perguruan Sumatera Thawalib yang terkenal itu. Ibid.,
hlm. 44-46.
[16] H. Abullah Ahmad lahir di Padangpanjang tahun 1878. Ia pergi ke
Makkah tahun 1895 dan kembali tahun 1899. Kira-kira tahun 1906 ia pergi ke
Padang menjadi guru, kemudian ia mendirikan Jamaah Adabiah yang menjadi cikal
bakal sekolah Adabiah Padang. Selain itu ia adalah pendiri Majalah Al Munir
yang terbit dua minggu sekali dari tahun 1911-1916. Ibid., hlm. 46-47.
[17] Zainudin Labai al Junusi lahir di Bukit surungan Padangpanjang
tahun 1890. Ia banyak menulis artikel dalam majalah Al Munir pimpinan H.
Abdullah Ahmad di Padang. Ketika Al Munir berhenti terbit, ia meneruskannya
dengan nama yang sama di Padangpanjang. Tahun 1815 ia mendirikan sekolah guru
Diniyah. Ia wafat tahun 1924. Ibid., hlm. 48-49.
[18] KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta tahun 1864 dengan nama
Mohamad Darwis. Ia pergi ke Makkah tahun 1890 dan belajar di sana selama satu
tahun. 1903 ia kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana selama dua tahun
lamanya. Tahun 1912 dengan tujuan “menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhamad saw
kepada penduduk Bumiputra dan memajukan hal agama Islam pada anggotanya”, ia
mendirikan Perkumpulan Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan. Ibid.,
hlm. 84-86.
http://
www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
[19] Greg
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jaakrta: Paramadina-Pustaka
Antara, 1999), hlm. 15.
http://
www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/yudi_andhoni.pdf
-
[20] Lihat
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.
212-214.
[21] Lebih
jauh baca Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), Pergolakan Pemikiarn
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 1981).
[22] Azyumardi
Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi. Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim
(ed.), Islam Di Tengah Transisi (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. xxiii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar